Monday, 22 October 2018

Serahkan Pada Ahlinya




Masih jam 9, ada janji jam 9.30.masih cukup waktu untuk isi bensin motor dulu.

SPBU ramai sekali, antrian lumayan panjang. Masih cukup waktu, tetap ikut antri.  Di depan masih ada satu antrian, siap-siap. Buka jok, susah. Posisi kunci tak bergerak, jok juga tak bergeming. Hingga antrian di depan selesai dan geser ke depan, hingga dibantu petuga SPBU, nihil. Jok tetap tak bisa dibuka. Ya sudah, bensin masih cukup, menuju bengkel langganan dekat rumah. Ternyata tidak bisa, bukan keahliannya katanya. Disarankan ke tukang kunci. Mengingat dengan keras dimana tukang kunci terdekat. Tidak ada, memang harus ke Pasar Pare.

Alhamdulillah buka, menyampaikan keluhan, dan tukang kunci bilang  : “ Selangkung mbak.” ( ongkosnya 25ribu)

Mengiyakan saja, lha saya diberi uang lebih dari itu juga belum tentu berhasil memperbaiki. Makanya saya itu jarang banget dan hampir tidak pernah menawar sesuatu. Ga bisa dan sering ga tega.

Mulailah tukang kunci bekerja, mengambil beberapa alat bantu, sekitar kunci dipukul-pukul. Khawatir juga sih, jangan-jangan malah rusak. Tapi santai sajalah, mereka lebih ahli. Jok bisa dibuka, sedikit bongkar dicari akar kerusakannya, diperbaiki, diberi pelumas coba beberapa kali sudah bisa, lancar. Beberapa bagian yang dibongkar dipasang lagi. Sekitar 30 menit, sudah beres. Nyoba beberapa kali buka tutup, Alhamdulillah sudah tidak ada masalah. Sebelum pulang ada yang datang juga ke tukang kunci, motornya stang terkunci. Meninggalkan tukang kunci, sudah tidak minat ke SPBU lagi, harus muter-muter dan lewat area upacara Hari Santri, pasti macet, juga belum tentu bensin cukup. Beli bensin botol, lumayan mahal. Dan beneran, sekitar Stadion Canda Bhirawa macet total.

Jadi kata kunci hari ini adalah : SERAHKAN PADA AHLINYA

Memang masalah kunci macet penyelesaiannya tidak terlalu rumit, namun memerlukan peralatan khusus, perlu bongkar pasang. Memperbaikinya cuma sebentar tapi bongkar pasangnya yang butuh keahlian. Bongkar saja mudah, pasangnya yang kadang susah

Jadi ingat pernah bongkar setrika, kipas angin Alhamdulillah bisa mengembalikan. Pernah juga bongkar kalkulator, karena cari buku petunjuknya belum ketemu, membuat  gambar kalkulatorsecara manual, posisi tombol, biar ketika mengembalikan tidak salah pasang. Tapi tetap saja lama banget.

Dan satu permasalahan yang saat ini sedang hangat, pilpres 2019. Memilih pemimpin bukan masalah sepele, sangat menentukan setidaknya kebijakan 5 tahun ke depan. Maka harus serius dengan calon yang ada. Pemilu 2019 nanti agak lebih mudah menganalisis untuk mmeutuskan siapa yang lebih layak menjadi pemimpin negeri ini, terlepas dari ketidaksepakatan dalam system suksesi pergantian pemimpin yang sebenarnya juga tidak akan banyak berpengaruh pada perubahan system, harus tetap bijak mempertimbangkan.

Paslon yang satu sepertinya lebih mudah untuk dinilai karena petahana, dan sudah melihat hasil kerjanya minimal melihat rekam jejak kebijakannya 4 tahun ke belakang. Dan itu tidak bisa ditutupi, begitu nyata di depan mata, kecuali bagi orang-orang yang mengedepankan cinta buta.
 Sedangkan calon lainnya memang belum bisa dinilai kinerjanya, jadi memang belum bisa memberi banyak kritikan hasil kerjanya.
Secara pribadi mempunyai kriteria yang akan menjadi pertimbangan.

Haram pilih pemimpin yang gagal mengurus rakyat. Keledai saja tidak akan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Maka tinggal menelaah, apakah petahana yang ada sukses mengurus rakyat ?

Haram pilih pemimpin yang khianat dan ingkar janji sebagaimana difatwakan MUI. Anak kecil saja tahu, khianat dan ingkar janji adalah ciri dari orang munafik. Masak mau dipimpin orang munafik? Maka telaahlah kebijakannya, sudahkah sesuai dengan janjinya?

Haram pilih pemimpin represif anti Islam. Bagaimana mungkin muslim mempercayakan tampuk amanah kepemimpinan kepada orang yang seenaknya mencabut BHP ormas dakwah? Nekat melanggar pakem konstitusi demi melampiaskan kemarahan karena jagonya keok di pilkada. Memanfaatkan segelintir orang untuk mempersekusi ulama, cepat ambil tindakan saat umat Islam bergerak, namun begitu lambat ketika Islam dihinakan.

Haram pilih pemimpin yang antek asing dan aseng. Tinggal buka mata lebar-lebar, seberapa banyak SDA negeri ini semakin terkuras oleh asing, bagaimana IMF semakin menjerat dan menjerumuskan negeri ini ke kubangan riba yang begitu hina. Dan seberapa besar cengkraman aseng di negeri ini, membangun infrastruktur namun dalam bayang-bayang aseng.

Jadi, apakah yang saat ini gagal mengurus rakyat, ingkar janji dan khianat, represif anti Islam, begitu memihak pada asing dan aseng layak disebut sebagai AHLI ?

Ditanyain BPJS ngeles, katanya rindu didemo malah tak jantan menghadapi gebuk sana-sini, katanya agama tak boleh dicampuradukkan dengan politik malah memanfaatkan umat, rela mengeluarkan kocek demi acara tak penting hingga jago acting sampai sewa  pemeran pengganti, memuji jago ngegame yang bikin anak kecanduan. Pemimpin yang mempunyai menteri segala urusan. Dan lain sebagainya

Keputusan kembali pada diri kita, namun satu yang pasti, akhirat itu pasti ada, semua keputusan kita di dunia pasti ada balasannya.

Dan yang masih percaya dan ingin mendapatkan syafaat Nabi saw, masih memposisikan Baginda Rasul sebagai satu-satunya teladan terbaik, mari merenungkan beberapa pesan beliau berikut ini :

"Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian." (HR Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya:
 (1) pemimpin yang adil,
 (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh,
 (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid,
 (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya,
 (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Aku benar-benar takut kepada Allâh.’
 (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
 (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Bukhari, no. 1423 dan Muslim, no. 1031)

 Rasulullah saw bersabda,” Aku mengkhawatirkan atas diri kalian enam perkara : kepemimpinan orang bodoh, jual beli hokum/pemerintahan, banyaknya polisi, pemutusan tali silaturahmi, orang muda yang tumbuh menjadikan Alquran layaknya nyayian, penumpahan darah ( HR Ahmad, Ibnu Abi Syaiban, Ath Thabarani)

Pare, 22 Oktober 2018

Friday, 12 October 2018

Guru Honorer Sampai Kapan Disia-sia?


Aksi para guru honorer semakin meluas di berbagai wilayah Indonesia, terutama di saat pendaftaran CPNS semakin dekat. Tuntutan mereka hampir sama, memprotes kebijakan penghentian pengangkatan guru PNS melalui jalur guru honorer dan meminta kejelasan posisi mereka. Kebijakan pemerintah yang tidak mengangkat guru PNS dari jalur honorer dianggap sebagai kebijakan yang dzalim, para guru honorer yang telah mengabdi hingga puluhan tahun seolah tidak dianggap keberadaannya, hanya karena ada peraturan teknis yang membuat para guru tersebut tidak boleh menjadi PNS. Tak ayal, aksi para guru honorer ini mengganggu proses mengajar di sekolah. Memang ironi, predikat pahlawan tanpa tanda jasa seolah dipahami sebagai profesia yang boleh disia-sia.

Mengapa guru honorer dan guru swasta begitu banyak bekerja namun tanpa perhatian serius? Padahal amanah mereka sama dengan guru PNS. Jawabnya cukup sederhana, karena dalam sistem kapitalisme, pendidikan bukanlah ladang basah untuk menghasilkan kekayaan. Bahkan dengan jahatnya, kapitalisme memanfaatkan pendidikan sebagai mesin pencetak buruh-buruh terdidik.

Pertimbangan untung rugi mengeluarkan dana besar untuk pengembangan pendidikan masih menjadi dasar kebijakan, maka wajar jika pemerintah dengan mudahnya mengabaikan nasib para guru yang merupakan salah satu komponen terpenting dalam penddidikan. Guru terus diperah untuk terus berada di sekolah dengan beban kerja yang melimpah namun tidak imbang dengan output pendidikan. Memang  benar, siswa berada cukup lama di sekolah, namun ternyata keluaran sekolah tidak otomatis menjadi manusia yang siap mengarungi kehidupan berbekal ilmu yang diperoleh di sekolah. Lihat saja, berapa banyak lulusan SMA yang siap berkarya mandiri berbekal ide cemerlang dibandingkan dengan lulusan SMA yang masih bingung akan kemana setelah lulus. Dan jika terjun ke dunia kerja, peluangnya hanya menjadi pegawai rendahan atau buruh saja. Karena untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mereka harus berpikir seribu kali lagi.
Kembali pada masalah guru honorer, kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi pada materi lah yang menjadi akar masalah buruknya perlakuan kepada guru. Guru tidak dianggap sebagai posisi mulia hanya karena tidak bisa menjadi mesin pencetak uang. Ini memang menjadi ciri khas dari sistem sekular. Dimana penghargaan terhadap manusia hanya berdasar pada banyaknya materi yang dihasilkan. Pandangan ini sangat jauh berbeda dengan pandangan Islam. Islam menjadikan pendidikan sebagai pilar peradaban mulia. Pendidiakn adalah sarana untuk mencetak generasi berkepribadian tangguh mewujudkan peradaban manusia yang sesuai dengan penciptaannya. Maka tak heran jika Islam juga menempatkan guru sebagai sosok yang sangat mulia, menempatkan guru sebagai arsitek peradaaban. Pandangan ini juga berpengaruh pada perlakuan Islam terhadap para guru. Dalam sistem Islam, negara akan memberikan perhatian yang khusus dalam bidang pendidikan, termasuk pula memperhatikan nasib para guru. Guru terus difasiltasi untuk meningkatkan kualitas diri, guru dimotivasi untuk meningkatkan kinerja dan guru dijamin kesejahteraannya. Itu semua karena guru adalah sosok mulia, manusia berilmu pencetak generasi penerus peradaban.
Maka jelas sudah, guru terutama honorer akan terus disis-sia selama negeri ini masih berpijak pada sistem kapitalis sekular. Gelar pahlawan tanpa tanda jasa hanya predikat pelipur lara, selebihnya mereka terus diminta bekerja tanpa dipedulikan kesejahteraannya, mereka terus diminta bersaing dengan profesi lain yang seharusnya tidak bisa disamakan. Karena tujuan pendidikan bukanlah untuk mencetak generasi penghasil materi, namun pendidikan bertujuan untuk mencetak generasi mulia pengukir peradan nan mulia juga. Oleh karena itu, untuk mengakhiri permasalahan yang melingkupi guru honorer, permasalahan yang dari dahulu seolah tak berujung, hanya satu solusinya, meninggalkan sistem sekular yang tidak memanusiakan guru honorer, mengakhirinya dan beralih pada sistem Islam. Hanya dengan sistem Islam manusia terutama guru akan kembali ditempatkan pada posisi mulia, karena aktivitas mendidik dan memberi ilmu adalah posisi yang istimewa dalam pandangan Islam.
Profesionalitas dan Kesejahteraan Guru dalam Nuangan Khilafah Islamiyah

Guru dalam Negara Khilafah Islamiyah mendapatkan penghargaan yang tinggi dari Negara termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha; bahwasanya ada tiga orang guru di madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas; bila saat ini harga 1 gram emas Rp 200rb, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp 12.750.000).  Subhanallah, dalam sistem Khilafah para guru akan terjamin kesejahteraannya dan dapat memberi perhatian penuh dalam mendidik anak-anak muridnya tanpa di pusingkan lagi untuk mencari tambahan pendapatan. 
Ternyata perhatian kepala negara kaum muslimin (Khalifah)bukan hanya tertuju pada gaji para guru dan biaya sekolah saja, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll.  Sarana dan prasarana pendidikan merupakan media yang digunakan untuk melaksanakan program dan kegiatan pendidikan.  Setiap kegiatan pendidikan harus dilengkapi dengan sarana-sarana fisik yang mendorong terlaksananya program dan kegiatan tersebut sesuai dengan kreativitas, daya cipta dan kebutuhan. Sarana itu dapat berupa buku-buku pelajaran, bangunan gedung sekolah/kampus, asrama siswa, perumahan staff pengajar/guru, perpustakaan, laboratorium, toko-toko buku, ruang seminar-auditorium tempat dilakukan aktivitas diskusi, majalah, surat kabar, radio, televisi, kaset, komputer, internet, dan lain sebagainya.  Semua sarana terebut diberikan secara cuma-cuma.
Sangat jelas adanya jaminan profesinalitas dan kesejahteraan guru dalam naungan khilafah Islam.  Selain mereka mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana-prasarana untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya.  Hal ini akan menjadikan guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang dibutuhkan Negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia. Hanya dengan Khilafah Islamiyah semata problematika pendidikan termasuk memelihara Idealisme guru dapat terlaksana dengan baik dan sempurna.

Jadi, sampai kapan guru honorer disia-sia?
Sampai tegaknya khilafah

Monday, 1 October 2018

Bencana, Harusnya Cepat Kucurkan Dana Bukan Tebar Pesona

Respon cepat memberi bantuan bencana hanya akan terjadi ketika para penguasa negeri ini peka dan terbiasa membantu rakyat.

Bukan penguasa atau pejabat yang biasa mendahulukan pencitraan dan jawaban sesuka hati.

Mereka tidak peka dengan penderitaan orang lain, seringkali melempar tanggungjawab.

Lihat saja jawaban para menteri ketika rakyat susah dengan kebijakan mereka.

Maka tak heran ketika ada bencana, terutama di luar Jawa, lambat.

Dahulu saat Kelud meletus fokus negeri ini tertuju ke Kelud, padahal di saat yang sama Sinabung juga erupsi.

Pernah mendapat cerita dari relawan Kelud, bantuan bahan bangunan untuk renovasi bangunan diminta warga di tengah jalan, padahal diutamakan untuk masjid-mushala dan fasilitas publik. Sedikit memaklumi kondisi mental warga yg terkena bencana, hanya ingin bertahan hidup, itu saja.

Mengapa lambat memberi bantuan?
Bisa jadi tak tergambar apa yg harus dilakukan
Bisa jadi tak terbersit rasa peduli
Bisa jadi takut akan sengsara bersama pengungsi

Mengapa terus menunjuk penguasa?
Mengapa terus menuntut  penguasa?
Karena penguasa punya kuasa
Karena penguasa wajib mengurus seluruh rakyatnya

Apa yang bisa kita lakukan?
Berdoa
Membantu dana
Mengingatkan penguasa atas tugasnya
Berjuang demi perubahan
Perubahan menuju kemuliaan
Perjuangan mengembalikan penerapan syariat di muka bumi
Sudah cukup penderitaan
Sudah cukup hidup dalam keegoisan
Saatnya bersatu di bawah naungan khilafah

Pare, 1 Oktober 2018