Bacanya dikit-dikit aja biar ga puyeng…
Catatan untuk mengingat hasil mengobrol secara langsung
dengan orang-orang yang pernah tinggal di tempat-tempat di pelosok tanah air,
baik asli maupun tinggal sementara waktu.
Sekali lagi ini
berdasarkan ingatan yang menjadi pijakan dari asumsi yang muncul, jadi sangat
mungkin faktanya tidak seperti apa yang saya bayangkan.
Bisa ngobrol dengan orang-orang dari berbagai tempat dengan
status :
-
Teman kuliah
-
Pare banyak dikunjungi
orang dari berbagai penjuru tanah air ( ini yang paling banyak)
-
Sekadar bertemu, kalo
bertemu dengan orang biasanya untuk SKSD tanya asalnya dulu
Sementara focus ke daerah di luar Jawa karena :
-
Saya memang belum pernah berkunjung, sementara
ini luar pulau Jawa hanya Bali saja
-
Salut dengan semangat
teman-teman dari luar Jawa ketika merantau demi ilmu atau kadang demi sesuap
nasi
Yang sering saya tanyakan ketika ngobrol dengan orang-orang
luar jawa adalah : kesan mereka ketika pertama kali datang di Jawa, fasilitas pendidikan, seputar kehidupan
masyarakat ( mata pencaharian, cara memenuhi kebutuhan sehari-hari), kursus di
Pare memangnya di daerah asal tidak ada tempat kursus ( ini pertanyaan iseng,
karena jawabannya sudah tahu krn hampir selalu sama, ingin merasakan kursus di
Pare)
Tanah Papua
Hanya dapat cerita tentang sekitar Freeport dan Merauke
Freeport :
Bertahun-tahun yang lalu, ngobrol dengan senior kuliah di
jurusan Teknik Lingkungan yang kerja praktik di Freeport, bagian pengolahan
limbah. Limbahnya limbah manusia. Awalnya saya membayangkan sebuah tempat di
Keputih Surabaya, sering disebut dengan Keputih Tinja. Kalo lewat daerah ini
lari-selarinya, ngebut-sengebutnya, sambil bawa sapu tangan penutup hidung, tak
berpikir macam-macam. Saya tipe orang yang makan terpengaruh pikiran, dan pikiran terpengaruh
fakta. Di Surabaya saya jarang mau makan kangkung dan iwak pe asap, bukan
karena rasanya, tapi terbayang-bayang tempat hidup kangkung di Surabaya dan tempat
pengasapan iwak pe di Kenjeran. Jadi kalo ada kangkung dan iwak pe asap saya
selalu tanya dulu ini beli dimana ?
Kembali ke Freeport, bayangan saya sangat jauh dengan
kenyataan. Pengolahan limbah di Freeport super canggih, karena didukung
fasilitas canggih pula. Sementara kagum dengan Freeport.
Cerita berlanjut bagaimana kondisi umum di Freeport. Bisa
dibilang, Freeport ibarat Negara kecil di Indonesia fasilitas penunjang untuk
hidup di Freeport sudah lengkap, tidak perlu khawatir dengan sarana dan
prasarana, tapi ya harus punya uang banyak
karena harga barang di Freeport mahal-mahal, senior saya sempat beli
tape recorder, harganya jauh banget dengan yang di Surabaya.
Yang membaut hati tersayat adalah adanya “kasta” di
Freeport. Ketika bercerita tentang fasilitas yang diberikan kepada pekerja
rasanya ingin meneteskan air mata. Yang paling mencolok adalah makanan. Senior
saya (selanjutya saya sebut Mbak saja) terkategori kasta kedua ( pribumi dan
pendatang dengan pendidikan rata-rata S1). Kasta pertama adalah para manager
dan hampir semua orang asing, kasta ketiga pekerja lapangan, kerja kasar lebih
banyak orang papua asli. Kasta pertama menunya empat sehat lima sempurna dengan
kualitas terbaik, kasta kedua juga empat sehat lima sempurna tapi kualitas di
bawah kasta pertama. Yang melas kasta ketiga, empat sehat saja ( katanya sich
ga dapat buah, coz senior saya selalu ngasih jatah buah dan roti ke pekerja
lapangan yang selalu menemaninya, buat anaknya). Pekerja lapangan yang dijumpai
Mbak adalah pekerja di sekitar pengolahan limbah, jadi yang turun ke bawah,
ngobok-ngobok limbah adalah para pekerja ini, tak kuat membayangkan. Jadi
resiko terkena penyakit lebih besar harusnya system imun tubuhnya juga lebih
diperhatikan, harusnya makanannya juga lebih baik lagi.
Tak tahulah, bayangan saya rakyat Papua itu seperti terjajah
di tanahnya sendiri. Kekayaan melimpah tapi kemajuan tak terarah.
Merauke
Dapat cerita dari seorang ibu yang sejak kecil transmigrasi,
dan sekarang menikah dan menetap di Jawa.
Waktu saya tanya kesan ketika di Jawa (Pare), kaget dengan
tindak criminal di Jawa. Walah saya malah kaget lagi kok bisa seperti itu.
Bayangan saya Papua itu orangnya barbar, suka bunuh sana-sini, perang antar
suku, tak ramah pada pendatang. Jawab si Ibu, iya sih. Tapi di Papua kasus
pembunuhannya “kstaria” membunuhnya saat perang suku, membunuh karena diganggu,
membunuh untuk menuntut balas. Lagian kalo kelakukan orang Papua seperti itu
pantes, masih primitive. Tapi lihat
berita di Jawa, ditemukan potongan tubuh di tempat sampah, paman membunuh
keponakan, membunuh karena harta, membunuh karena tidak bisa membayar hutang,
kakak memperkosa adik, anak kecil memperkosa. Orang Jawa kan berpendidikan tapi
kelakuannya masak serendah itu… bener juga…
Di Merauke ( yang bukan kota. Tak bisa membayangkan bukan kota
itu seperti apa. Kota saja minim fasilitas, apalagi bukan kota), kadang ada
perang antar suku, tapi kalo perang mereka tahu mana musuh mana bukan musuh,
jadi jarang dech salah bunuh. Lagian kalo akan ada serangan, pasti ada peringatan
atau setidaknya isu, jadi yang tidak berkepentingan sadar diri tidak ikut
campur, tidak keluar rumah.
System sanksi adat di Papua sederhana, jika ada yang
melanggar dikenai sanksi langsung. Bunuh balas bunuh, melanggar adat ada denda,
tidak ada penjara. Simple, gak ngebek-ngebeki penjoro.
Masalah fasilitas pendidikan, melas. SD dan SMP lumayan
dekat, tapi SMA harus ngekos/mondok. Tidak berani PP, bisa-bisa jadi sasaran
pemabuk di tengah hutan. Salah satu kebiasaan buruk orang Papua adalah ketika
mereka dapat uang langsung dipake pesta, dan selalu ada miras di pesta.
Pikirannya “cupet” nduwe dhuwit yo ndang dientekne. Punya uang itu untuk
dihabiskan.
Pulau Sulawesi
Pernah ngobrol dengan orang dari beberapa wilayah di
Sulawesi. Di Pare pendatang dari Sulawesi sangat banyak,bahkan anak-anak
Sulawesi punya asosiai sendiri di Pare.
Paling banyak dari Sulawesi Selatan terutama Makassar, tapi bayangan
saya Makassar itu tidak jauh berbeda dengan Surabaya jadi tidak terlalu
menarik. Ada juga dari Palopo, Pare-pare, Mamuju.
Dari Sulawesi Selatan
ada cerita yang masih membekas. Yaitu cerita dari Pare-pare.
Kendaraan sehari-hari anak kursusan di Pare adalah sepeda
pancal. Banyak anak kos yang beli atau sekadar sewa sepeda ( jadi sewa sepeda
bisnis yang lumayan menjanjikan). Tapi ada anak Pare-pare yang kemana-mana
boncengan sama temannya, gak bisa naik sepeda katanya. Seminggu berlalu
akhirnya bisa naik sepeda meski berkali-kali terjatuh, cara naik sepedanya pun
lucu, naiknya dari kanan padahal kebiasaan di Pare naik sepeda itu diawali dari
kiri. Memang di kampong halamannya ga pernah naik sepeda, jalannya bergelombang
dan naik turun, tidak nyaman buat pengendara sepeda. Apalagi menurut ceritanya,
banyak jalan rusak. Ketika di Pare bisa naik sepeda, senangnya bukan main. Di
kampong halamannya kemana-mana seringnya diantar. Awalnya sempat su’udzon,
manja. Tapi ternyata memang kendala jalan.
Di Pare memang masih ada beberapa jalan yang belum aspal,
tapi tetap nyaman untuk sepeda.
Kolaka Utara
Waktu kenalan dengan anak Kolaka Utara saya sampe meminta
untuk ditunjukkan di peta, he..he.. tidak familiar dengan nama daerah ini,
karena ternyata tidak sama dengan Kolaka.Dua daerah yang berbeda.
Yang menarik adalah dia datang ke Pare bersama rombongan.
Jadi mereka mendapat fasilitas beasiswa dari pemda untuk kursus di Pare.
Walah-walah kursus saja dapat beasiswa, enak banget. Memang ada syaratnya,
setelah selesai kursus wajib kembali ke Kolaka Utara, ga boleh menetap di Jawa.
Bersedia mengamalkan ilmunya di Kolaka Utara, tidak terikat harus bekerja
dimana yang penting memberikan ilmunya idi sana. Memberi beasiswa merupakan salah satu cara
pemda untuk memotivasi agar semangat menuntut ilmu, bagus juga. Memang minat
menuntut ilmu di Kolaka Utara masih minim. Yang laki-laki paling-paling
berakhir di ladang atau kebun, yang perempuan paling-paling jadi IRT, jadi
sekolah apalagi kursus dianggap tidak terlalu penting.
Pernah juga ngobrol dengan anak Gorontalo, Kendari, Palu,
tapi tinggalnya di Kota jadi bayangan saya ya tidak jauh berbeda dengan Pare.
Pulau Kalimantan
Pangkalanbun, Kalteng
Salah satu cerita menarik adalah kondisi tanah di
Pangkalanbun. Perkebunan sawit dan karet mendominasi. Katanya, karakter sawit
adalah menyerap air tanah jadi jika semakin luas perkebunan kelapa sawit bisa
jadi lama-lama daerah disekitarnya jadi kering. Begitu cerita salah seorang
anak kursusan. Waktu itu di rumah lagi banyak rambutan, makanya dia cerita kalo
dulu ayahnya juga biasa tanam rambutan, tapi sejak beberapa tahun ini banyak
yang mati,kekurangan air. Cerita juga bagaimana penduduk setempat atau
pendatang yang modalnya sedikit kesulitan mengelola perkebunannya, kalah dengan
perkebunan yang dikelola perusahaan-perusaan asing, terutama dari Malaysia,
akhirnya dari pada merugi petani kecil lebih memilih menjual perkebunannya.
Untuk menyambung hidup mereka menyewa lahan. Oaalaah kok yo soro ning omahe
dhewe…
Ada cerita juga dari orang Amuntai, Berau, Banjarmasin. Dari cerita mereka yang saya bayangkan adalah
sering mati lampu dan kualitas lembaga pendidikan yang rendah,mengelola sekolah dengan segala keterbatasan sehingga
berpengaruh pada output.
Ada juga hal menarik, tapi lupa dari Kalimantan mana. Senior
waktu kuliah, jika pulang kampong buat list terlebih dahulu. Daftar barang yang
mau dibeli, daftar pesanan keluarga, trus belanja di Pasar Turi. Saya sampe
terheran-heran. Apa tidak ada di Kalimantan to mbak, ke Pasar Turi kok belanja
kebutuhan sehari-hari di bawa pulkam. Ada, tapi kadang kehabisan dan harganya
mahal.
Tentang belanja sebelum pulkam, juga dilakukan anak Lombok
Timur dan Sumbawa. Nanya-nanya rute ke Surabaya, ternyata mau belanja ke Pasar
Turi, berarti Pasar Turi terkenal ya…
Ingin cerita tentang Tenggarong, tapi masih belum banyak
maklumat. Ini daerah asal Pak Kalend direktur BEC ( cikal bakal kursusan di
Pare), ceritanya lebih ke sejarah. Kehidupan kerajaan kutai dan awal masuk
agama Islam ke Kutai. Bayangan saya seperti Yogya.
Bumi Andalas di Wikipedia Sumatra juga punya nama lain Pulau
Emas.
Cerita tentang Mesuji-Palembang dan Bengkulu saja
Tidak tau tepatnya di Mesuji mana, harga tanah satu hektar
12 juta saja. Murah banget. Air tidak sulit, tanah tidak tandus. Bayangan saya,
tidak masalah, selama ada air masih mudah bertahan hidup. Tapi jalan masuknya
ke tanah yang murah itu sekitar tiga km jalan tanah yang kalo hujan lengket,
jadilah kendaraan tidak bisa keluar, terisolasi. Memang terkadang ada kendala
dari orang suku pedalaman. Tapi selama mengerti kebiasaan mereka, tidak
masalah. Lagian primitive, dengan sebuah keris yang dicap sakti saja sudah
takut.
Sedikit tentang Bengkulu dan Sawahlunto
Ngobrol dengan orang dari Bengkulu (kurang tau tepatnya
dimana) dan Sawahlunto. Ada kemiripan cerita tentang sekolah. Jumlah sekolah
sangat sedikit, kalo pun ada jaraknya sangat berjauhan. Harus melintas hutan
dan menyeberangi sungai. Jam belajar dan jarak tempuh gak sumbut, kelamaan di
jalan. Makanya lebih memilih merantau ke Jawa untuk sekolah.
Di Pare juga ada pendatang yang mayoritas berasal dari NTT
bahkan dulu Timur Leste. Di Desa Darungan dan Bendo, mereka kuliah akademi
kesehatan dan STIKES. Banyak banget, tapi berhubung agak jauh tidak pernah ngobrol dengan mereka.
Semakin lama ceritanya menyusut, sudah capek. Kalo tidak
langsung diselesaikan bisa-bisa selamanya ada di folder My Plan .
Namanya juga asumsi dan bayangan saya,kalo ada salah mohon
maaf yang sebesarnya, silakan mengingatkan dan memberi masukan. Juga tidak
dalam rangka men-generalisir semua pasti begini…
Jadi…
Semua daerah yang saya ceritakan semuanya adalah wilayah
NKRI. Semua statusnya adalah warga Negara Indonesia. Namun menurut saya
pembangunan lebih terpusat di Pulau Jawa. Jika itu di Luar Jawa harus punya
cadangan SDA yang melimpah baru ada perhatian, tapi SDA yang melimpah belum
menjamin dan berkorelasi positif dengan kesejahteraan penduduknya. Karena
lagi-lagi pemilik modal lah yang menguasai, pribumi hanya gigit jari. Daerah
dengan SDA melimpah menjadi sasaran pemilik modal. Pembangunan fasilitas hanya
demi kepentingan eksploitasi bukan kesejahteraan rakyat. Jadi jika ada sebuah
daerah yang sebelumnya tidak ada aliran listrik, jalan rusak, tiba-tiba ada
listrik, jalan diperbaiki padahal di daerah tersebut tidak ada pejabat, jangan
bergembira dulu, wah pemerintah peduli dan baik hati. Tunggu dulu, bisa
dipastikan akan ada pembangunan perusahaan investasi swasta bahkan asing. Bukan
membangun daerah tersebut demi kepentingan masyarakat, tapi menyiapkan
fasilitas n sarana untuk melancarkan misi eksploitasi kekayaan alam daerah
tersebut.
Di usia yang ke 69 tahun, seharusnya negeri ini bisa lebih
baik lagi. Namun system yang ada tak kunjung bisa mewujudkan perubahan.
Perubahan menuju kesejahteraan hakiki, kesejahteraan hidup sehingga bisa
menikmati hidup sesuai dengan tujuan manusia diciptakan. Sedangkan Allah
menciptakan manusia semata untuk ibadah
Kerja bernilai ibadah tidak sekadar demi kekayaan
Makan bernilai ibadah tidak sekadar perut terganjal
Menuntut ilmu bernilai ibadah tidak sekadar demi kebanggaan
Penguasa mengurus rakyat bernilai ibadah tidak sekedar demi kembali
modal
Rakyat taat penguasa bernilai ibadah bukan karena ketakutan
Berdakwah dan jihad menyebarkan rahmat Islam bernilai ibadah
bukan demi ego ingin terkenal
Maka sebagai bukti cinta kepada negeri ini, seharusnya kita
berusaha keras untuk merubah kondisi negeri ini. Tidak menutup mata dengan
perubahan yang sahih, perubahan menuju ridha Allah, perubahan menuju
diterapkannya syariat Allah secara kaffah dalam naungan khilafah rasyidah ‘ala
minhajinnubuwwah.
Bagaimana pun juga #IndonesiaMilikAllah
Kesan :
Allah maha kaya, Allah maha adil dimana pun kita hidup insya
Allah ada jaminan rezeki.
Tak peduli di Jawa atau di luar Jawa, di kota atau di
pedalaman selalu ada jalan untuk sukses. Yang penting menjalaninya dengan
memperhatikan kaidah sebab akibat, masalah hasil qadla Allah.
Selama ini selalu membayangkan kondisi di luar Jawa
mengenaskan, tapi bagaimana pun juga selalu ada kesempatan yang bisa dimanfaatkan
disaat ada athg( pertama mengenal ATHG pas bahas wawasan nusantara, tapi lupa
waktu kelas berapa)
Jika dikaitkan dengan dakwah, pedalaman juga tak masalah. Memang
secara alami peluang perubahan ada di
kota besar akan tetapi tidak selalu perjuangan berhasil ditempat yang
diharapkan. Jadi ingat dakwah Rasul di Mekkah, tapi berhasil mendirikan daulah
di Madinah. So, dimana pun kita berada tetaplah berusaha dan berjuang. Dan
Alhamdulillah salut dengan saudara2 seperjuangan di berbagai penjuru tanah air
yang Mei – Juni kemarin berhasil menggelar Konferensi Islam dan Peradaban di 70
kota di Indonesia, termasuk di Luar Pulau Jawa.
Untuk putra – putri daerah, memang tak ada salahnya untuk
punya komitmen kembali ke daerah. Daerah, terutama pedalaman berhak mendapat
sentuhan kemajuan. Sorry, kasarane wis ga usah ngebek-ngebeki Jowo, mumet lan
sumpek yen kabeh pingin urip ning Jowo.
Orang non Jawa ngerti gak ya ?
Tapi sepertinya perlu ditinjau ulang program transmigrasi,
kalo perlu bedol desa biar banyak temannya…
Tp lg mikir, jauh dr kota kl barang elektronik rusak servis
dmn ya ( tp otomatis ga tergantung pd barang elektronik mungkin, lha wong
biasanya listrik byar pet kan… ?), Ada sinyal ga ? de el el…
Nulis juga sekalian mengamati peta koridor ekonomi
Masterplan Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (mp3ei)
2011-2025. Mungkin lebih tepatnya MASTERPLAN
PERCEPATAN(eksploitasi SDA) dan PERLUASAN (penjajahan kapitalis)(berkedok)
PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA. Bisa jadi tulisan panjang lagi kl bahas mp3ei
ini….
Yen dijarke, anak putu ga
keduman opo2…. Harus ada perubahan.
Biar semakin tergambar dengan perubahan yang sahih dan
mulianya hidup dalam naungan khilafah #YukNgaji
Terimakasih untuk yang sudah bersedia membaca….
End.