Saturday, 28 July 2012

Sulit menulis = sulit berbicara ???


Mungkin ada yang bilang : “ Saya kesulitan kalo’ disuruh ngisi forum, grogi ngomong di depan orang banyak, buat tulisan saja lah “
Atau sebaliknya : “ Saya ngomong langsung saja ya, mbulet kalo lewat tulisan, malah tidak fokus “

Faktanya memang seperti itu. Ada yang begitu lihai menyampaikan ide lewat tulisan tapi tidak lancar menyampaikan lewat bahasa lisan. Ada pula yang lihai bersilat lidah namun ketika membuat tulisan alurnya acak-acakan.

Terkadang fakta tersebut dijadikan dalih untuk memaklumi diri. Tidak semua pandai ngomong, tidak semua pandai menulis.

Okelah kalo begitu... yang penting ketika Allah masih mengaruniakan suara, ketika Allah masih memberi jari-jemari atau bagian tubuh yang bisa digunakan untuk menulis jangan pernah bilang ga bisa ngomong, ga bisa nulis....

Bagi saya menulis dan berbicara tidaklah jauh berbeda, sama-sama bertujuan menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Kualitas tulisan atau perkataan tergantung apa yang disampaikan. Sekadar tulisan atau perkataan santai, guyon tanpa makna atau sesuatu yang bermuatan ide baik ide haq maupun ide batil.

Jadi, jika bisa ngomong mengapa tidak bisa membuat tulisan ?

Sama halnya dengan berbicara, tulisan adalah rangkaian kata yang menjadi pandangan penulis. Tulisan yang dibuat bisa dikatakan sebagai cerminan pemikiran / aqliyah seseorang. Maka tulisan belum bisa dikatakan sebagai cerminan seseorang, apalagi kepribadiannya. Karena kepribadian seseorang akan bisa dinilai jika diketahui pola pikir (aqliyah ) dan pola sikapnya (nafsiyah ).



Menulis tentulah tidak hanya butuh bondho nekat atau modal dengkul. Menulis membutuhkan ilmu, baik ilmu menulis maupun ilmu terkait apa yang akan ditulis. Sama halnya ketika berbicara, harus mikir dulu apa yang akan diomongkan, tidak asal njeplak... maka ketika kita menulis bisa dikatakan kita juga telah melalui proses belajar mencari ilmu sebagai modal menulis. Agar proses belajar tersebut hasilnya tetap bertahan akan lebih baik lagi jika kita buat dalam bentuk tulisan, tentu saja sesuai dengan apa yang kita pahami. Karena dengan menulis kita bisa mengikat ilmu...

Karena menulis tidak jauh berbeda dengan berbicara, maka konsekuensinya pun juga tidak jauh berbeda.

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (QS. Ash Shaff [61] : 2-3)

Tulisan kita akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana perkataan kita. He..he...tidak bermaksud menakut-nakuti, biar terpacu untuk membuat tulisan berkualitas. Sama halnya ketika berbicara dengan orang, interaksikan ide berkualitas, ide yang membuat umat bangkit dengan ideologi Islam, ide yang membuat manusia rindu diterapkan syari’ah di bawah naungan khilafah, ide yang membuat manusia rindu ridho Allah SWT. Begitu juga harusnya dengan tulisan kita.

Tapi, tetap segala sesuatu memang terkadang harus dimulai dari yang mudah, dari yang ringan, dari yang kita bisa. Sekali lagi terkadang...bukan selalu...

So, never ending improvement...

Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)(QS. Al Kahfi [18] : 109)

Friday, 20 July 2012

Tak Harus ke Pare...

Liburan semester apalagi akhir tahun ajaran baru, Pare begitu rame. Dua jalan utama, jl. Anyelir dan Brawijaya macet total. Seumur-umur di Pare tak pernah terjebak macet. Mobil pengantar dimana-mana, bis, dan minibus parkir di sepanjang  jalan. Terlihat tak indah dipandang mata, jalan yang tidak lebar namun begitu dipenuhi kendaraan dan jg manusia. Terlihat jelas mobil-mobil yang berasal dari luar kota, plat S, W, N, AE, M, L, AB, B dll. Masjid di jl. Anyelir pun rame dengan para orang tua yang ishoma.  Memanfaatkan liburan untuk belajar bahasa Inggris, itu alasan mereka. Mumpung ada waktu.
Dan kursusan-kursusan pun hampir semuanya penuh. Ada yang menerima pendaftaran individu ada yang rombongan satu sekolah. Tak ketinggalan kursusan instan pun berdiri, untuk menampung membludaknya peminat.
Sepertinya Pare semakin rame sejak ada tayangan di TV yang meliput Kampung Bahasa Inggris Pare beberapa waktu lalu, tayangan profil Pare.
Sebuah fakta, di Jl. Anyelir saja yang panjang  jalan hanya sekitar 1 km ada puluhan (mungkin sekarang ratusan) tempat kursus. Kursus reguler, paket holliday, hingga camp plus program. Bagi yang sama sekali tidak punya info, bisa dipastikan akan bingung memilih. Seperti di Malioboro yang begitu banyak penjual dengan barang dagangan yang sama berderet di sepanjang  jalan, jika tak pandai menawar dan banyak tanya tak kan dapat barang yang sesuai dengan harganya (biasanya dapat barang yang terlalu mahal), tak jauh berbeda dengan memilih tempat kursus di Pare.
Sebenarnya, tempat kursus yang memberikan program berkualitas bisa dihitung dengan jari. Rata-rata kursusan tersebut adalah kursusan yang mempunyai program reguler, program yang dijalani dengan proses normal. Materi dan waktu yang berimbang, bukan materi padat dalam waktu singkat, bukan cara instan.
Sedangkan jika memasuki liburan seperti ini, program yang ditawarkan rata-rata adalah program holliday, program dengan masa belajar super singkat tapi materi super padat, maka sungguh jadi pemandangan biasa. Pagi jam 5 program sudah mulai, dan baru berakhir jam 10 malam. Jika tak kuat, kesehatan pun dipertaruhkan. Hampir setiap detik dan setiap hembusan nafas hanya mikir materi program (bahkan untuk meluangkan waktu 2 jam per minggu untuk ngaji pun sama sekali tak bisa, sungguh menyesakkan dada, ketika sms masuk “Maaf lagi ada program, kemarin belum selesai jadi lanjut hari Ahad”, bukan kecewa karena merasa tak dianggap, tapi prihatin dengan buruknya skala prioritas ). Tercengang ketika orang-orang yang sebelumnya kental dengan mabda’ Islam dengan entengnya bilang “ Mumpung di Pare, ambil program sebanyaknya” tidakkah terbersit “ Mumpung masih hidup, sayang melewatkan kesempatan untuk berjuang demi tegaknya agama Allah “ ?  Tambah melas lagi kalo da yang membatalkan janji karena lagi da program outbond, ngglethek...outbondnya di pemandian Surowono.... program pa seneng2 ????
Di Pare kata “program” sangat familiar. Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kursus biasa disebut dengan program. Bisa bermakna program kursus, bisa juga program tambahan (lha wong rujakan dibilang program juga, gara2 sebelum/habis rujakan da sesi debate – biasanya program speaking). Biasanya yang seperti ini anak2 luar kota atau luar Jawa. Adaa aja acara “ashobiyahnya”. “ Afwan lagi rujak party mb, nanti agak telat yaaa....” . “ Mbak punya teflon ga...mau bikin pisang...(lupa namanya,  nama daerah di Sulawesai) “.
Dan fakta seperti liburan saat ini merupakan kesempatan emas untuk meraup keuntungan sebesarnya. Kursusan baru bermunculan, hanya buka program holliday. Tak sekadar memberi pelayanan kursus, layanan plus pun diberikan, kursus plus camp, plus makan, plus loundry, plus antar jemput, plus tiket PP, plus paket keliling Pare. Layanan satu atap.  Memang tidak semua di handle kursusan yang bersangkutan, share layanan. Satu kursusan biasanya punya link warung makan, loundry dan sarana transport khusus. Tapi banyak juga yang secara keseluruhan ditangani sendiri.
Hampir sama juga dengan di Malioboro, para tukang becak punya link toko sendiri.  Tukang becak akan mempromosikan dan mengantarkan penumpangnya ke toko linknya, dapat uang transport plus share dari pemilik toko, meski tak langsung diberikan. Itu juga yang terjadi di Pare.
Dan satu hal lagi. Fenomena yang lazim terjadi dalam sistem kapitalis yang kental dengan motivasi bisnis. Belajar yang merupakan kewajiban,terwarnai dengan ide kapitalis.  meski hanya belajar bahasa Inggris namun penuh dengan aroma bisnis.
Tempat kursus yang bermunculan hanya dimanfaatkan untuk meraup pundi-pundi rupiah. Hanya bermodal spanduk, poster, mini office jadilah tempat kursus yang menjanjikan program instan. Kualitas hampir tak bisa diandalkan, tempat kursus yang didirikan orang-orang semata bermotivasi bisnis. Akhirnya program yang diberikan pun hanya materi-materi yang  tak berkualitas. Biasanya tempat kursus seperti ini didirikan oleh para pendatang, mereka pernah kursus di Pare. Sewa rumah penduduk, hanya satu bulan untuk buka program, setelah itu berakhir tanpa bekas, dan ada juga yang berakhir dengan penuh masalah. Biaya sewa, loundry dan makan belum diberikan tetapi pemilik kursusan sudah melarikan diri tanpa jejak.
Tak hanya berhenti pada bisnis saja, sikap-sikap sekuler pun begitu kental. Pergaulan yang tidak dijaga, program sampai malam dengan laki-laki dan perempuan yang campur baur, umbar aurat yang tak terkendali karena kursusan sudah tidak mempunyai idealisme, terserah mereka mau berpakaian seperti apa yang penting belajar bahasa Inggris (padahal beberapa kursusan yang memang sudah ada sejak dulu selalu mewajibkan muridnya menutup aurat ). Semakin banyak yang daftar, semakin banyak keuntungan.
Metode belajar sekuler pun tak ketinggalan. Dalam program speaking, debat adalah materi wajib. Menyampaikan pendapat, mempertahankan pendapat untuk melatih keberanian berbicara, namun agar debat hidup seringkali tutor berpesan sejak awal, jangan bawa-bawa agama, jangan pake dalil agama,di sini bebas berpendapat. Kalo pake dalil agama kasihan yang tidak punya bekal, mereka pasti tak bisa mendebat. Jadilah debat hanya sekadar debat kusir untuk latihan tanpa diakhiri dengan solusi dan kesimpulan yang sesuai dengan hukum syara’, dan sengaja dibiarkan mengambang dengan dalih ini hanya belajar bukan kajian. Hampir mirip dengan program debat di salah satu TV swasta, dibiarakan mengambang, kesimpulan diserahkan pada individu. Tak boleh memaksakan pendapat.
Masih banyak lagi, permasalahan yang sebenarnya ingin mengungkapnnya, tapi yang pasti penuh dengan pelanggaran terhadap hukum syara’, permasalahan yang akan selalu muncul selama sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalis.
Dan besar harapan semoga tulisan ini bisa membuat mata kita terbuka. Pare bukanlah satu-satunya tempat untuk belajar bahasa, bukan satu-satunya tempat yang kondusif untuk belajar bahasa. Dan yang lebih penting lagi, jangan sampai tergoda dengan Pare, yang akhirnya mengabaikan kewajiban utama umat Islam untuk menjadikan perjuangan penerapan syariah di bawah naungan khilafah sebagai poros. Karena tak sedikit, orang-orang yang sebelumnya berkomitmen untuk istiqomah di jalan dakwah melalaikan aktivitas dakwah dan terlena dengan program  belajar bahasa yang begitu padat. Tetaplah pada metode pembelajaran yang shahih, belajar karena iman dan taqwa, belajar untuk diamalkan, belajar dengan mendalam, yang konsekuensinya membutuhkan waktu tidak sebentar, proses belajar yang membutuhkan kesabaran dan keikhlasan, bukan belajar dengan instan.
Tips memilih kursus singkat
  1. Rekomendasi dari kenalan
  2. Cari info program yang sesuai dengan kebutuhan ( jadi datang ke Pare jgn bonek “ pingin belajar bahasa Inggris” tanpa tau program yang akan diambil). Speaking, grammar, translation,pronounciation, TOEFL. Sesuaikan dengan kebutuhan. Untuk melanjutkan study ke luar negeri, untuk buat karya ilmiah, untuk interview, atau hanya sekadar pingin ngomong.
  3. Pastikan info program sekaligus biaya dan masa belajarnya
  4. Saran saya sebagai orang asli Pare, pilih kursusan dengan pemilik dan tempat kursus (fasilitas ) yang jelas. Sebuah fakta, beberapa kursusan yang dikelola pendatang sementara  seringkali bermasalah. Salah satu cirinya, jika pernah dapat rekom dari teman kursusan A trus saat datang sendiri alamat sudah pindah maka menjadi salah satu indikasi hubungan pemilik kursusan dengan pemilik gedung/rumah yg dikontrak “kurang harmonis”. Jika tidak cocok dengan pemilik gedung bisa jadi tidak cocok dengan masyarakat sekitar.
  5. Pilih program yang dibutuhkan saja, jangan ambil program seharian penuh. Setiap hembusan nafas yang dipikir hanya materi program saja. Intinya tidak menjadikan kursus bahasa Inggris sebagai poros. Biasa saja, layaknya belajar atau kuliah. Tak perlu bernafsu ingin bisa dalam waktu singkat.
  6. Pilih camp yang syar’i. Pastikan pergaulan di camp terjaga. Memang camp terpisah namun untuk beberapa program kadang gabung. Bekali diri dengan hukum Islam agar tidak terjerumus pada pergaulan bebas. Prihatin kalo ngobrol dengan pamong atau orang dinkes, ngeri dengar cerita bobroknya pergaulan di Pare yang mayoritas pelakunya anak kos.
  7. Untuk pendaftaran online, usahakan ada kesepakatan jika ada yang tidak sesuai dengan promo, uang bisa diminta kembali.
  8. Hindari calo kursusan. Sebenarnya biaya kursus di Pare tidak terlalu mahal tapi ada beberapa orang yang mengeluhkan biayanya sangat mahal dan apa yang dirasakan tidak sesuai dengan biaya yang telah mereka keluarkan, dan ketika komplain ke tempat mereka kursus tak banyak membantu karena bisa jadi masalahnya tidak pada tempat kursus, tapi pada calonya. Calo mematok biaya tinggi. Mulai dari tiket PP, camp, tempat kursus sampai paket wisata (muter-muter Pare n Kediri, Garuda-Candi Surowono-Candi Tegowangi-SLG-Gunung Klotok-Gunung Kelud dll). Kalo ada anak kos yang mengeluh capek gara-gara muter-muter Kediri, hanya bisa ketawa... ndeso... lha wong muter2nya pake kreta kelinci ya jelas aja super capek. Pare tak seperti obyek wisata Yogya or Bali. Tak heran, biaya kursus hanya 600rb kena calo bisa-bisa 5jt. Begitulah calo...
  9. Yang terpenting, niatkan menuntut ilmu semata karena ridho Allah SWT.
NB : Tulisan yg harusnya publish pas liburan sekolah kemarin, tp tak sempat. Memanfaatkan liburan untuk “istirahat” sesuai saran banyak orang . Liburan di saat pergantian musim, sudah mengingat betul harus waspada, namun  telat antisipasi, dan akhirnya tetap “istirahat”. Tapi ini masuk  liburan PT, barangkali bs nambah info.
Sengaja ngetag temen2 yg di luar kota...Semoga bisa jadi masukan untuk orang2 yang "ngeyel" pingin ke Pare...