Soal:
Kalau nanti Khilafah berdiri, siapa yang akan menjadi khalifah kaum Muslim? Andai saja Amir atau anggota Hizbut Tahrir menjadi khalifah, bagaimana relasi keduanya sehingga dia tetap independen?
Jawab:
Jika Khilafah berdiri dengan izin dan pertolongan Allah, insya Allah yang diangkat menjadi khalifah adalah orang terbaik, setelah memenuhi syarat in’iqad: Muslim, balig, berakal, laki-laki, merdeka, adil dan mampu menjalankan seluruh kewajibannya sebagai Khalifah.[1] Adapun syarat lain, seperti keturunan Quraisy, mujtahid dan pemberani, hanyalah syarat pelengkap (afdhaliyyah); bukan syarat sah dan tidaknya seseorang menjadi khalifah.[2]
Hanya saja, siapakah yang paling layak di antara orang terbaik yang memenuhi kriteria tersebut? Tentu orang yang ikut berjuang menegakkan Khilafah, dan ketua partai politik, atau gerakan revolusioner yang berhasil mendapatkan mandat kekuasaan (istilam al-hukm) dari umat. Begitulah Nabi saw. mencontohkan dan begitulah sejarah membuktikan. Nabi saw. sendiri adalah ketua partai politik, yang dikenal dengan Hizbur Rasul, ketika masih di Makkah. Nabi saw. mendidik, mempersiapkan proses perubahan dan mewujudkan perubahan bersama para Sahabat yang menjadi anggota Hizbur Rasul hingga mendapatkan baiat pertama dan kedua dari kaum Aus dan Khazraj di ‘Aqabah, Mina. Wajar, jika kemudian Nabi saw. menjadi kepala Negara Islam pertama. Sebab, Baginda Nabi saw.-lah pejuang dan pemimpin para pejuang yang melakukan perubahan revolusioner tersebut.
Sejarah juga membuktikan hal yang sama. Revolusi Bolshevik dan Revolusi Iran adalah contoh nyata yang mengantarkan kedua pemimpin revolusioner ke tampuk kekuasaan. Hal yang sama juga bisa terjadi pada Hizbut Tahrir. Jika kelak Allah SWT memberikan pertolongan, umat pun akan menyerahkan mandat kekuasaan (istilam al-hukm) kepada Hizbut Tahrir dan pemimpin Hizb. Itu hal yang normal. Justru yang tidak normal, jika umat menyerahkan kekuasaannya kepada orang atau pemimpin partai, jamaah atau kelompok yang tidak berjuang menegakkan Khilafah. Sebab, jika ini terjadi maka ini akan menjadi musibah bagi Islam dan kaum Muslim, sebagaimana yang kini sedang berlangsung di Mesir, Tunisia dan Libya, misalnya.
Masalahnya kemudian, bagaimana relasi Khilafah dengan Hizbut Tahrir di satu sisi, ketika kekuasaan tersebut diserahkan kepada Hizbut Tahrir, dan relasi antara Amir atau anggota Hizbut Tahrir dengan Khilafah di sisi lain?
Mengenai posisi Hizbut Tahrir ketika Khilafah sudah berdiri, maka Hizbut Tahrir sebagai partai politik tetap dalam posisinya sebagai partai politik yang tetap berada di tengah-tengah umat, mendidik dan mengawal pemikiran dan perasaan umat (qawam al-ummah afkaraha wa hissaha) sehingga pemikiran dan perasaan tersebut tetap terjaga. Ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Hizb dalam Qanun Idari-nya. Posisi ini tidak berubah hingga kapan pun.
Selain itu, Hizb juga mengambil posisi yang tegas, tidak berada dalam pemerintahan sebagai partai pemerintah (hizb hakim), maupun partai oposisi (hizb mu’aridh). Pasalnya, konsep partai berkuasa dan oposisi (hizb hakim wa mu’aridh) ini memang tidak dikenal dalam Islam. Hizb akan tetap berdiri dalam posisinya sebagai partai yang selalu melakukan tugas dan fungsinya, mengoreksi kebijakan penguasa (muhasabatu al-hukkam), jika kebijakan-kebijakan tersebut dianggap menyalahi ketentuan hukum syariah. Semua itu bukan dalam rangka mencari-cari kesalahan, atau bahkan menjatuhkan mereka, tetapi untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar semata-mata karena Allah SWT.
Kedua posisi ini akan tetap dijaga dan diperankan oleh Hizb, baik ketika Khilafah dipimpin oleh anggota Hizb maupun bukan. Sebab, inilah tugas dan fungsi yang harus dilakukan oleh Hizb dalam rangka memenuhi seruan Allah SWT:
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah/partai) yang menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Tugas yad’una ila al-khayr (menyerukan Islam) bisa bermakna mengajak orang non-Muslim agar memeluk Islam, atau mengajak orang Islam untuk menerapkan Islam dengan sempurna. Adapun tugas ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhauna ‘an al-munkar (melakukan amar makruf nahi mungkar) bisa dilakukan terhadap umat, dengan mendidik dan mengawal pemikiran dan perasaan umat (qawam al-ummah afkaraha wa hissaha), sehingga pemikiran dan perasaan tersebut tetap terjaga; bisa juga dilakukan terhadap penguasa, dengan mengoreksi kebijakannya (muhasabah al-hukkam), jika kebijakan-kebijakan tersebut dianggap menyalahi ketentuan hukum syariah.
Hizb tidak memposisikan diri sebagai oposisi karena dengan tegas Nabi melarangnya. ‘Ubadah bin Shamit menuturkan:
«بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَعَلَى أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ»
Kami membaiat Rasulullah saw. untuk mendengar dan taat (kepada Baginda Nabi saw. selaku kepala negara), baik dalam kondisi susah, senang, lapang maupun terpaksa dan untuk mengalahkan kepentingan kami, juga agar kami tidak merebut urusan (kekuasaan) tersebut dari pemangkunya, serta kami hendaknya menyatakan kebenaran di manapun kami berada. Kami tidak takut terhadap cacian pencaci, semata-mata karena Allah SWT (HR Muslim).
Jadi, meski Hizbut Tahrir mendapatkan mandat kekuasaan (istilam al-hukm) dari umat, tidak berarti Hizb menjadi partai berkuasa. Sebab, penyerahan mandat (istilam al-hukm) tersebut merupakan fase transisi, dari umat kepada Hizb. Kemudian, Hizb akan menentukan siapa yang paling layak menjadi khalifah. Jika Amir Hizb yang dibaiat in’iqad untuk menduduki jabatan tersebut, tidak lain karena dialah orang yang paling layak. Setelah itu, Hizb akan tetap pada posisinya semula. Adapun Amir atau anggota Hizb yang telah dibaiat oleh umat sebagai khalifah kaum Muslim akan direlakan oleh Hizb untuk memimpin umat. Jabatan Amir yang beliau sandang pun dilepas, dan Hizb pun akan memilih kembali anggota terbaiknya untuk menjadi amirnya yang baru.
Dengan demikian, relasi Hizbut Tahrir di satu sisi dengan Khilafah dan Khalifah adalah tetap tidak berubah. Sebagai kekuatan politik yang berada di tengah-tengah umat, Hizb tetap solid dan memegang komitmen penuh untuk setia kepada Negara Khilafah, meski tetap kritis terhadap setiap kebijakan yang dijalankan oleh negara. Di sisi lain, relasi Hizb dengan Khalifah yang sebelumnya menjadi Amir Hizb tentu berubah, karena posisi Amirnya saat itu tidak lagi menjadi Amir Hizb, tetapi sudah menjadi Khalifah.
Dengan demikian, Khalifah pun bisa menjaga jarak yang sama antara Hizb dengan komponen umat yang lain. Tidak ada nepotisme, kolusi maupun balas budi. Sebab, masing-masing hanya berpikir menjalankan kewajibannya terhadap Islam dan kaum Muslim, semata-mata karena Allah SWT, bukan karena yang lain. [Ust Hafid Abdurrahman]
Catatan kaki: