Tuesday, 5 June 2012

Saat Khilafah Berdiri, Siapa Kholifahnya ?

Saat Khilafah Berdiri, Siapa Kholifahnya ?
Soal:
Kalau nanti Khilafah berdiri, siapa yang akan menjadi khalifah kaum Muslim? Andai saja Amir atau anggota Hizbut Tahrir menjadi khalifah, bagaimana relasi keduanya sehingga dia tetap independen?
Jawab:
Jika Khilafah berdiri dengan izin dan pertolongan Allah, insya Allah yang diangkat menjadi khalifah adalah orang terbaik, setelah memenuhi syarat in’iqad: Muslim, balig, berakal, laki-laki, merdeka, adil dan mampu menjalankan seluruh kewajibannya sebagai Khalifah.[1] Adapun syarat lain, seperti keturunan Quraisy, mujtahid dan pemberani, hanyalah syarat pelengkap (afdhaliyyah); bukan syarat sah dan tidaknya seseorang menjadi khalifah.[2]
Hanya saja, siapakah yang paling layak di antara orang terbaik yang memenuhi kriteria tersebut? Tentu orang yang ikut berjuang menegakkan Khilafah, dan ketua partai politik, atau gerakan revolusioner yang berhasil mendapatkan mandat kekuasaan (istilam al-hukm) dari umat. Begitulah Nabi saw. mencontohkan dan begitulah sejarah membuktikan. Nabi saw. sendiri adalah ketua partai politik, yang dikenal dengan Hizbur Rasul, ketika masih di Makkah. Nabi saw. mendidik, mempersiapkan proses perubahan dan mewujudkan perubahan bersama para Sahabat yang menjadi anggota Hizbur Rasul hingga mendapatkan baiat pertama dan kedua dari kaum Aus dan Khazraj di ‘Aqabah, Mina. Wajar, jika kemudian Nabi saw. menjadi kepala Negara Islam pertama. Sebab, Baginda Nabi saw.-lah pejuang dan pemimpin para pejuang yang melakukan perubahan revolusioner tersebut.
Sejarah juga membuktikan hal yang sama. Revolusi Bolshevik dan Revolusi Iran adalah contoh nyata yang mengantarkan kedua pemimpin revolusioner ke tampuk kekuasaan. Hal yang sama juga bisa terjadi pada Hizbut Tahrir. Jika kelak Allah SWT memberikan pertolongan, umat pun akan menyerahkan mandat kekuasaan (istilam al-hukm) kepada Hizbut Tahrir dan pemimpin Hizb. Itu hal yang normal. Justru yang tidak normal, jika umat menyerahkan kekuasaannya kepada orang atau pemimpin partai, jamaah atau kelompok yang tidak berjuang menegakkan Khilafah. Sebab, jika ini terjadi maka ini akan menjadi musibah bagi Islam dan kaum Muslim, sebagaimana yang kini sedang berlangsung di Mesir, Tunisia dan Libya, misalnya.
Masalahnya kemudian, bagaimana relasi Khilafah dengan Hizbut Tahrir di satu sisi, ketika kekuasaan tersebut diserahkan kepada Hizbut Tahrir, dan relasi antara Amir atau anggota Hizbut Tahrir dengan Khilafah di sisi lain?
Mengenai posisi Hizbut Tahrir ketika Khilafah sudah berdiri, maka Hizbut Tahrir sebagai partai politik tetap dalam posisinya sebagai partai politik yang tetap berada di tengah-tengah umat, mendidik dan mengawal pemikiran dan perasaan umat (qawam al-ummah afkaraha wa hissaha) sehingga pemikiran dan perasaan tersebut tetap terjaga. Ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Hizb dalam Qanun Idari-nya. Posisi ini tidak berubah hingga kapan pun.
Selain itu, Hizb juga mengambil posisi yang tegas, tidak berada dalam pemerintahan sebagai partai pemerintah (hizb hakim), maupun partai oposisi (hizb mu’aridh). Pasalnya, konsep partai berkuasa dan oposisi (hizb hakim wa mu’aridh) ini memang tidak dikenal dalam Islam. Hizb akan tetap berdiri dalam posisinya sebagai partai yang selalu melakukan tugas dan fungsinya, mengoreksi kebijakan penguasa (muhasabatu al-hukkam), jika kebijakan-kebijakan tersebut dianggap menyalahi ketentuan hukum syariah. Semua itu bukan dalam rangka mencari-cari kesalahan, atau bahkan menjatuhkan mereka, tetapi untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar semata-mata karena Allah SWT.
Kedua posisi ini akan tetap dijaga dan diperankan oleh Hizb, baik ketika Khilafah dipimpin oleh anggota Hizb maupun bukan. Sebab, inilah tugas dan fungsi yang harus dilakukan oleh Hizb dalam rangka memenuhi seruan Allah SWT:
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah/partai) yang menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Tugas yad’una ila al-khayr (menyerukan Islam) bisa bermakna mengajak orang non-Muslim agar memeluk Islam, atau mengajak orang Islam untuk menerapkan Islam dengan sempurna. Adapun tugas ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhauna ‘an al-munkar (melakukan amar makruf nahi mungkar) bisa dilakukan terhadap umat, dengan mendidik dan mengawal pemikiran dan perasaan umat (qawam al-ummah afkaraha wa hissaha), sehingga pemikiran dan perasaan tersebut tetap terjaga; bisa juga dilakukan terhadap penguasa, dengan mengoreksi kebijakannya (muhasabah al-hukkam), jika kebijakan-kebijakan tersebut dianggap menyalahi ketentuan hukum syariah.
Hizb tidak memposisikan diri sebagai oposisi karena dengan tegas Nabi melarangnya. ‘Ubadah bin Shamit menuturkan:
«بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَعَلَى أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ»
Kami membaiat Rasulullah saw. untuk mendengar dan taat (kepada Baginda Nabi saw. selaku kepala negara), baik dalam kondisi susah, senang, lapang maupun terpaksa dan untuk mengalahkan kepentingan kami, juga agar kami tidak merebut urusan (kekuasaan) tersebut dari pemangkunya, serta kami hendaknya menyatakan kebenaran di manapun kami berada. Kami tidak takut terhadap cacian pencaci, semata-mata karena Allah SWT (HR Muslim).
Jadi, meski Hizbut Tahrir mendapatkan mandat kekuasaan (istilam al-hukm) dari umat, tidak berarti Hizb menjadi partai berkuasa. Sebab, penyerahan mandat (istilam al-hukm) tersebut merupakan fase transisi, dari umat kepada Hizb. Kemudian, Hizb akan menentukan siapa yang paling layak menjadi khalifah. Jika Amir Hizb yang dibaiat in’iqad untuk menduduki jabatan tersebut, tidak lain karena dialah orang yang paling layak. Setelah itu, Hizb akan tetap pada posisinya semula. Adapun Amir atau anggota Hizb yang telah dibaiat oleh umat sebagai khalifah kaum Muslim akan direlakan oleh Hizb untuk memimpin umat. Jabatan Amir yang beliau sandang pun dilepas, dan Hizb pun akan memilih kembali anggota terbaiknya untuk menjadi amirnya yang baru.
Dengan demikian, relasi Hizbut Tahrir di satu sisi dengan Khilafah dan Khalifah adalah tetap tidak berubah. Sebagai kekuatan politik yang berada di tengah-tengah umat, Hizb tetap solid dan memegang komitmen penuh untuk setia kepada Negara Khilafah, meski tetap kritis terhadap setiap kebijakan yang dijalankan oleh negara. Di sisi lain, relasi Hizb dengan Khalifah yang sebelumnya menjadi Amir Hizb tentu berubah, karena posisi Amirnya saat itu tidak lagi menjadi Amir Hizb, tetapi sudah menjadi Khalifah.
Dengan demikian, Khalifah pun bisa menjaga jarak yang sama antara Hizb dengan komponen umat yang lain. Tidak ada nepotisme, kolusi maupun balas budi. Sebab, masing-masing hanya berpikir menjalankan kewajibannya terhadap Islam dan kaum Muslim, semata-mata karena Allah SWT, bukan karena yang lain. [Ust Hafid Abdurrahman]
Catatan kaki:

[1] Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cet VI, 2002 M/1422 H, hlm. 50-53.
[2] Ibid, hlm. 53.

Monday, 4 June 2012

Intelektual Penentu Perubahan



Sejarah membuktikan perubahan selalu dipelopori oleh kalangan intelektual. Islam jaya karena jasa Rasulullah yang berhasil mencetak generasi sahabat dengan daya pikir dan daya juang yang tinggi. Eropa lepas dari masa kegelapan karena kegigihan kaum cendekiawannya. Begitu juga dengan negeri ini. Kebangkitan nasional dipelopori kaum terpelajar, tumbangnya orde baru, orde lama serta reformasi juga tidak bisa dilepaskan dari peran intelektual. Karena memang selayaknya kalangan intelektual selalu mempunyai posisi terhormat dalam mewujudkan perubahan, intelektual adalah pendobrak kebangkitan peradaban. Namun sebuah fakta yang menyayat hati, keberadaan intelektual saat ini belum bisa memberikan sumbangsih untuk mewujudkan perubahan yang berarti di negeri ini. Setiap tahun sekolah meluluskan pelajar, perguruan tinggi meluluskan mahasiswa S1 sampai S3, bahkan para penyandang gelar profesor juga selalu ada. Akan tetapi seolah peran para intelektual tidak begitu optimal, terbukti dengan tidak berubahnya kondisi negeri ini. Indonesia masih saja terjajah secara ekonomi, sumber daya alam dikeruk asing. Rakyat masih saja belum sejahtera. Dan parahnya lagi, korupsi  yang semakin hari semakin merajalela pelakunya berasal dari kalangan intelektual.
Kegagalan Pendidikan Kapitalis
                Minimnya peran intelektual tidak bisa dilepaskan dari proses pembentukannya yaitu proses pendidikan. Dan proses pendidikan sangat berkaitan erat dengan sistem pendidikan. Fakta yang begitu nyata, dunia pendidikan saat ini disetir kapitalis. Pendidikan bermotif bisnis untuk meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya yang memang ciri dari ideologi kapitalis, selalu berpijak pada asas manfaat dengan menghalalkan segala cara. Maka output pendidikan pun juga sangat kental dengan ide-ide kapitalis. Sekolah atau kuliah dengan tujuan utama mencari kerja, tercetaklah lulusan bermental pekerja. Menuntut ilmu dengan prinsip sekuler mengabaikan aturan agama, melahirkan generasi pintar secara intelektual namun rapuh kepribadiannya. Muncullah pelajar yang biasa dengan pergaulan bebas, mahasiswa minim prestasi dan pegawai yang begitu mudah tergiur indahnya dunia.
                Tidak lagi mempedulikan prestasi apa yang akan diukir, kreasi apa yang akan dibuat dan inovasi apa yang dilahirkan demi kemajuan peradaban bangsa. Kaum intelektual terjebak pada pragmatisme. Kapitalisasi pendidikan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan, sehingga yang terpikir dalam benak adalah bisa lulus untuk mengembalikan modal dan berjuang bertahan hidup di tengah sulitnya keadaan. Akhirnya, intelektual pun mandul. Penemuan-penemuan sangat sedikit, penelitian hanya untuk menghabiskan anggaran, karya tulis dibuat hanya untuk menaikkan pangkat. Jadilah negeri ini semakin tergantung pada Barat. Tak berkutik ketika berbicara teknologi, kalah bersaing dalam hal  produk dan semakin terseret sebagai konsumen miskin.
Tak hanya terjebak pada bisnis pendidikan, pemikiran intelektual juga semakin terwarnai oleh ide-ide kapitalis sekuler yang mengagungkan kebebasan. Intelektual yang seharusnya menjadi motor perubahan mewujudkan peradaban mulia malah semakinmenjurumuskan generasi ke lembah nista. Ilmu yang tidak dikaitkan dengan syari’ah akibat ide sekuler hanya mencetak intelektual penghina ajaran agama. Kajian ilmiah menggugat hukum Allah bukanlah hal yang tabu. Dukungan terhadap kebebasan berekspresi, berpendapat, berkeyakinan dan kepemilikan pun semakin menguat.
Demikianlah buah pendidikan kapitalis, hanya melahirkan generasi pembebek, generasi rusak dan manusia individualis yang tidak peduli dengan kewajiban untuk terikat pada hukum syara’ secara sempurna.
Sistem Islam Mencetak Intelektual Cerdas Bertaqwa
Dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan primer bagi seluruh rakyat, bagian dari pelayanan umum dan kemaslahatan hidup terpenting serta kebutuhan asasi yang  harus dikecap oleh setiap manusia. Pendidikan diselenggarakan dengan biaya sangat murah bahkan gratis sehingga bisa dinikmati seluruh rakyat. Tujuan pendidikan bukan dalam rangka bisnis melainkan untuk membentuk manusia yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqofah Islam,  serta menguasai sains-teknologi. Maka tak heran, dengan sistem pendidikan Islam lahirlah generasi cemerlang. Generasi hebat para pemimpin-panglima perang-mujahid , para faqih fiddin-mujtahid-ulama , ilmuwan sains-teknologi yang mampu membangun peradaban yang gemilang, penemu-penemu di berbagai bidang yang diakui dan diadopsi barat untuk kebangkitan Eropa.
Para imam madzhab dengan hasil ijtihad yang luar biasa sekaliber Imam Syafi’i dan imam madzhab lainnya, para perawi hadits yang mempunyai daya ingat tajam dan hafalan melimpah semisal Imam Bukhari, Imam Muslim dan lainnya,  Sholahuddin Al Ayubi dan Muhammad A Fatih para mujahid mulia. Di bidang astronomi ada Al-Khawārizmi, Ibn Jābir Al-Battāni , Abu Rayhān al-Biruni , serta Nāsir al-Dīn al-Tūsi. Ibn Al-Haytsam pakar fisika, Jābir ibn Hayyān dan Abu Bakr Zakariya al-Rāzi pakar kimia. Al-Kindi yang pertama kali mendemonstrasikan penggunaan ilmu hitung dan matematika dalam dunia medis dan farmakologi. Atau juga Al-Rāzi yang menemukan penyakit cacar (smallpox), Al-Khawarizmi, Ibn Sina dan lain-lain yang berjasa dalam pengembangan dunia kesehatan. Dengan prestasi yang gemilang mereka memajukan peradaban dunia melalui.
Dan satu hal yang tidak bisa dipungkiri, keberadaan generasi luar biasa tersebut tidak terlepas dari proses pendidikan yang mereka terima. Yaitu sistem pendidikan Islam.  Dan sistem pendidikan Islam akan berhasil jika berintegrasi dengan sistem lain seperti sistem politik, hukum, ekonomi dan lain-lain yang juga berdasarkan Islam dengan khilafah sebagai institusi utamanya . Maka menjadi kebutuhan sekaligus kewajiban bagi umat Islam, ketika menginginkan tercetaknya generasi cemerlang dan intelektual pendobrak kebangkitan peradaban yang harus dilakukan adalah dengan mewujudkan kembali khilafah. Dan tentu saja perjuangan menegakkan khilafah juga sangat membutuhkan peran intelektual, intelektual muslim yang rindu tegaknya sistem Islam.
Dengan demikian perubahan hakiki akan terjadi jika para intelektual muslim menjadikan akidah Islam sebagai landasan, menjadikan hukum Islam sebagai pijakan. Menjadikan pemikiran Islam untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan.