Komisi Pemilihan Umum sepertinya terus melangkah maju dalam pelaksanaan pilkada serentak 2020 ini, meski ada berbagai usulan agar pilkada ditunda, langkah persiapan penyelenggaraan pilkada tidak surut, bahkan meski dua ormas besar di negeri ini menyarankan agar pilkada ditunda. Memang tekat untuk terus menggelar pilkada sudah sejak jauh hari diwacanakan. Salah satunya oleh Menteri Dalam Negeri, “Pilkada Saat Pandemi untuk Cari Pemimpin Kuat Tangani Covid-19
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan, pelaksanaan Pilkada di 270 wilayah Indonesia yang dilakukan saat pandemi adalah untuk mencari pemimpin yang kuat menangani Covid-19. Penegasan itu dikatakan Mendagri saat Rakor Kesiapan Pilkada Serentak Tahun 2020 di Kantor Gubernur Kalteng di Kota Palangka Raya, Minggu (19/7). "Pilkada yang saat ini di tengah pandemi adalah yang pertama dalam sejarah dan belum pernah dilakukan oleh pemerintah manapun sebelumnya," ujarnya. (mediaindonesia.com/19/07). Tentu alasan mendagri tersebut saat inisudah tidak relevan lagi. Saat ini kasus positif covid-19 tetus meningkat, kematiannya pun terus bertambah, bukannya terpilih pemimpin kuat, bias-bisa akan membuat kondisi semakin parah, pilkada bisa jadi menjadi kluster baru penularan covid-19. Bukan pilkada yang dibutuhkan, namun keseriusan pemerintah yang saat ini berkuasa yang dibutuhkan rakyat. Pemimpin baru belum tentu mempunyai kebijakan yang jitu, jika pun ada yang mempunyai ide pamungkas maka tetap bisa memberi masukan penanganan covid-19 meski belum berada di lingkaran kekuasaan.
Belum lagi biaya yang dikeluarkan dalam penyelenggaran pemilu yang membengkak, pasti pembiayaan ini akan menguras kas yang ada. Bagaimana tidak membengkak, penyelenggaraan pemilu menuntut adanya penambahan TPs, secara otomatis akan menambah perangkat yang dibutuhkan. Lagi-lagi di sini rakyat harusnya bertanya, bukankah lebih bermanfaat jika dana digunakan untuk fokus menyelamatkan rakyat dari wabah, untuk menangani dampak langsung wabah.
Alasan pilkada dibutuhkan untuk memilih pemimpin kuat adalah alasan klise. Sudah menjadi rahasia umum, proses pilkada baik bagi penyelenggara maupun kontestan bukanlah proses tanpa biaya, terutama bagi kontestan. Sejak awal tahapan, untuk menjadi bakal calon saja membutuhkan dana yang tidak sedikit, apalagi saat menuju pilkada, pasti dibutuhkan dana besar. Maka tak heran pernah ada kepala daerah yang mengungkapkan bahwa gaji sebagai kepala daerah besarnya tak seberapa. Maka tak heran pula jika saat menjabat para kepala daerah berlomba untuk minimalmengembalikan modal atau membalas budi, tak berhenti sampai di sini, upaya menjalankan proyek demi pundia rupaiah yang masuk ke kantong pribadi pun kerap menjadi sarana untuk mengembalikan modal, tentu proyek yang menguntungkan kepala daerah, kroninya dan para penyokong modal. Sedangkang bagi penyelenggara, pilkada hanyalah alat untuk mengukuhkan suksesi pergantian kepala daerah ala demokrasi kapitalisme, alih-alih menghasilkan pemimpin kuat, pilkada saat ini hanya sebatas melanggengkan cengkeraman system demokrasi kapitalisme di negeri ini, dan jelas ini berbahaya, peilkada hanya alat legitimasi bagi pihak yang berkuasa, atas nama rakyat membuat kebijakan khianat kepada rakyat, namun menyenangkan para konglomerat yang siap berpesta pora menikmati proyek yang menanti.
Maka, sungguh tak layak pilkada serentak masih diselenggarakan di tengah pandemi apalagi diharapkan memberi solusi. Pilkada akan semakin menambah panjang rantai penularan covid-19, dan pilkada pun tak akan memberi solusi, yang ada hanya mewujudkan pemimpin yang meneruskan system kekuasaan oligarki. Penguasa yang berkolaborasi dengan kroninya demi kepentingan mereka saja, bukan kepentingan seluruh rakyat.